Selasa, 26 Maret 2013

DEPRESI DAN BUNUH DIRI PADA REMAJA

A.    Latar Belakang
Dalam perkembangan psikologi, remaja dikenal sedang dalam fase pencarian jati diri yang penuh kesukaran dan persoalan. Fase ini berlangsung mulai usia 11-19 tahun pada wanita dan 12-20 tahun pada pria. Dikatakan sebagai fase yang penuh kesukaran dan persoalan karena dalam fase ini remaja sedang berada di dua persimpangan antara dunia anak-anak dan dunia orang dewasa. Dimana mereka terkadang masih bertingkah laku seperti anak-anak namun tuntutan sosial mengharuskannya bertingkah laku seperti orang dewasa.
Sejalan dengan perkembangan sosialnya, mereka lebih konformitas pada kelompoknya dan mulai melepaskan diri dari ikatan dan ketergantungan kepada orangtuanya dan sering menunjukkan sikap menantang otoritas orangtuanya(ide pemberontakan - teori formal masa remaja oleh G. Stanley Hall (1904/1916) ).
Kesukaran dan persoalan yang terjadi pada fase remaja ini bukan hanya muncul pada diri R            Remaja itu sendiri melainkan juga pada orangtua, guru, dan masyarakat. Sebagaimana yang sering kita lihat pertentangan antara remaja dengan orangtua, remaja dengan guru, dan remaja dengan kalangannya sendiri. Semua ini terjadi karena remaja masih berada di dua persimpangan tadi. Dapat dipastikan bahwa seseorang yang sedang dalam keadaan transisi atau peralihan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain/baru seringkali mengalami gejolak dan goncangan yang terkadang dapat berakibat buruk bahkan fatal terhadap remaja itu sendiri maupun orang lain(Syah, 2001). Akan tetapi, perlu diketahui bahwa semua kesukaran dan persoalan yang muncul pada fase perkembangan remaja ini dapat diminimalisir bahkan dihilangkan jika orangtua, guru, dan masyarakat mampu memahami perkembangan jiwa, perkembangan kesehatan mental remaja, dan mampu meningkatkan kepercayaan diri remaja.
Menurut beberapa ahli psikologi, keluarga atau orangtua yang baik adalah orang tua yang mampu memperkenalkan kebutuhan remaja berikut tantangan-tantangannya untuk bisa bebas kemudian membantu dan mensupportnya secara maksimal dan memberikan kesempatan, menghormatinya dalam hal berpendapat, mengambil keputusan, ketertarikan, dan kepribadian anak(gaya pengasuhan otoritatif Baumrind).
Kesehatan Mental Remaja : Depresi pada Remaja Beberapa Indikator dan Penyebab Masalah kesehatan Mental Remaja Selain orang dewasa, remaja pun dapat mengalami kesehatan mental yang secara umum dapat mempengaruhi cara berpikir, perasaan, dan tingkah laku. Masalah inilah yang dapat menyebabkan seorang remaja mengalami kegagalan studi, melakukan perilaku yang menyimpang, melakukan kriminalitas, dan lain-lain. Kesehatan mental yang sering dialami oleh remaja diantaranya depresi, rasa takut, rasa cemas, hiperaktif, gangguan makan, gangguan tidur, dan lain-lain. Dan dalam hal ini saya membahas tentang Depresi pada Remaja.
Perasaan depresi dan gembira bersifat universal. Ini membuat mood disorders (gangguan suasana perasaan) gangguan yang membuat orang begitu kehilangan daya hidup bunuh diri dianggap sebagai pilihan yang lebih baik dari pada tetap hidup. Dalam perkembangan normalpun seorang remaja mempunyai kecenderungan untuk mengalami depresi, Oleh karena itu sangatlah penting untuk membedakan secara jelas dan hati -hati antara depresi yang disebabkan oleh gejolak mood yang normal pada remaja dengan depresi yang patologik. Akibat sulitnya membedakan antara kedua kondisi diatas, membuat depresi pada remaja sering tidak terdiagnosis. Bila tidak ditangani dengan baik, gangguan psikiatrik pada remaja sering kali akan berlanjut sampai masa dewasa.
 Depresi pada remaja harus segera ditangani karena kalau berkepanjangan, dapat mengakibatkan bunuh diri yang berujung pada kematian.  Makin lama seseorang mengalami depresi, makin lemah daya tahan mentalnya, makin habis energynya, makin habis semangatnya, makin terdistorsi pola pikirnya sehingga dia tidak bisa melihat alternative solusi, tidak bisa melihat ke depan, tidak menemukan harapan, tidak bisa berpikir positif. Ini menyebabkan remaja melihat bahwa bunuh diri menjadi solusi satu-satunya.

B.     Kasus
Sebuah laporan kasus oleh braswel dan kendall (1988) menggambarkan terapi kognitif-behavioral pada seorang remaja perempuan berusia 15 tahun yang mengalami depresi :
“ ketika bertemu untuk pertama kali sharon tampak sangat disforik, berulangkali berfikir untuk bunuh diri dan menunjukkan sejumlah simtom-simtom vegetatif depresi. Setelah di terapi dengan obat antidepresi, ia mulai menjalani terapi kognitif-behavioral untuk depresi. Ia mampu memahami bahwa moodnya di pengaruhi oleh berbagai pemikiran serta perilakunyadan mampu membuat rencana behafioral untuk meningkatkan terjadinya peristiwa yang menyenangkan dan berorientasi pada penguasaan keterampilan. Sharon memiliki standar yang sangat tinggi dalam mengavaluasi prestasinya di sejumlah bidang, dan akhirnya diketahui bahwa orang tuanya juga berperan dalam penentuan standar tersebut, sehingga dilakukan beberapa sesi terapi keluarga untuk mendorong sharon dan orang tuanya mengevaluasi standar tersebut.
Sharon sulit menerima saran untuk mengubah standar tersebut dan mengatakan bahwa bila sedang tidak dalam kondisi depresi dalam kenyataannyaperfeksionisme tersebut adalah nilai yang dianutnya. Pada titik ini a menolak terapi karena menganggapnya sebagai upaya untuk mengubah sesuatu merupakan nilai bagi dirinya. Dalam mempertimbangkan hal tersebut, kami mulai menggali dan mengidentifikasi sebagai situasi atau bidak dimana perfeksionisme tersebut bermanfaat baginya dan kapan, serta bagaimana perfeksionisme itu justru merugikan. Ia mulai merasasemangkin nyaman dengan perspektif tersebut dan memutuskan untuk tetap menggunakan standar yang tinggi bagi prestsi dalam bidang matimatika (yang jelas menjadi kekuatannya), namun ia tidak perlu terlalu menuntut dirinya dalam bidang seni atau fisika”.

C.     Tinjauan pustaka
1.      Depresi
Masa remaja merupakan masa dimana seorang individu mengalami peralihan dari satu tahap ke tahap berikutnya dan mengalami perubahan baik emosi, tubuh, minat, pola perilaku, dan juga penuh dengan masalah-masalah (Hurlock, 1998). Oleh karenanya, remaja sangat rentan sekali mengalami masalah psikososial, yakni masalah psikis atau kejiwaan yang timbul sebagai akibat terjadinya perubahan sosial.
Kehidupan yang penuh stres pada saat ini seperti adanya bencana yang terjadi dimana-mana, dan berbagai peristiwa hidup yang menyedihkan dapat menyebabkan remaja mengalami depresi. Perlu diketahui bahwa remaja pun bisa kena depresi dan kalau tidak diatasi, episode depresi dapat berlanjut hingga remaja tersebut dewasa. Tetapi yang paling membahayakan dari depresi adalah munculnya ide bunuh diri atau melakukan usaha bunuh diri. Hinton (1989) mengatakan bahwa meskipun depresi yang diderita tidak parah namun risiko untuk bunuh diri tetap ada.
Depresi merupakan suatu gangguan mental yang spesifik yang ditandai dengan adanya perasaan sedih, putus asa, kehilangan semangat, merasa bersalah, lambat dalam berpikir, menurunnya motivasi untuk melakukan aktivitas, dll. Depresi cenderung diderita oleh remaja karena remaja cenderung memperhatikan citra tubuhnya, rentan mengalami peristiwa yang penuh stres, mengalami tekanan dalam penyesuaian diri dalam berinteraksi dengan orang lain. Hinton (1989) mengatakan bahwa masa remaja merupakan masa perubahan hormonal, perubahan tingkat dan pola hubungan social sehingga remaja cenderung mempersepsikan orang tua secara berbeda. Selain itu, masa pertumbuhan remaja, jarang yang berlangsung dengan lancar. Banyak masalah yang terjadi dan bisa makin serius hingga menyebabkan depresi yang berkepanjangan. Remaja yang mengalami depresi akan menjadi apatis dan menyalahkan dirinya sendiri sehingga merasa enggan untuk mencari pertolongan.
Depresi dapat mengakibatkan dampak yang merugikan bagi si penderita seperti terganggunya fungsi sosial, fungsi pekerjaan, mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi, mengalami ketidak berdayaan yang dipelajari, bahkan hingga tindakan bunuh diri yang menyebabkan kematian.  Remaja hanya mengurung diri di kamar, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya semangat hidup, hilangnya kreativitas, antusiasme dan optimisme. Dia tidak mau bicara dengan orang-orang, tidak berani berjumpa dengan orang-orang, berpikir yang negative tentang diri sendiri dan tentang orang lain, hingga hidup terasa sangat berat dan melihat masalah lebih besar dari dirinya. Remaja jadi pesimis memandang hidupnya, seakan hilang harapan, tidak ada yang bisa memahami dirinya, dan sebagainya.
Perkembangan kognitif remaja, dalam pandangan Jean Piaget merupakan periode terakhir dan tertinggi dalam tahap pertumbuhan operasi formal (period of formal operations). Pada periode ini, idealnya para remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan abstrak. Kemampuan berpikir para remaja berkembang sedemikian rupa sehingga mereka dengan mudah dapat membayangkan banyak alternatif pemecahan masalah beserta kemungkinan akibat atau hasilnya. Kapasitas berpikir secara logis dan abstrak mereka berkembang sehingga mereka mampu berpikir multi-dimensi seperti ilmuwan. Para remaja tidak lagi menerima informasi apa adanya, tetapi mereka akan memproses informasi itu serta mengadaptasikannya dengan pemikiran mereka sendiri. Mereka juga mampu mengintegrasikan pengalaman masa lalu dan sekarang untuk ditransformasikan menjadi konklusi, prediksi, dan rencana untuk masa depan.
Dengan kemampuan operasional formal ini, para remaja mampu mengadaptasikan diri dengan lingkungan sekitar mereka. Pada kenyataan, di negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) masih sangat banyak remaja (bahkan orang dewasa) yang belum mampu sepenuhnya mencapai tahap perkembangan kognitif operasional formal ini. Sebagian masih tertinggal pada tahap perkembangan sebelumnya, yaitu operasional konkrit, dimana pola pikir yang digunakan masih sangat sederhana dan belum mampu melihat masalah dari berbagai dimensi. Jelas sekali dalam kasus Bambang ini, dia belum mampu mencapai tahap perkembangan kognitif operasional formal. Bambang sebenarnya jelas telah melakukan proses berpikir dalam setiap masalah yang ia hadapi, namun semakin ia berpikir semakin ia tidak mampu mendapatkan jawaban atas permasalahan yang sedang ia hadapi. Permasalahan – permasalahan tersebut ia represi terus menerus hingga akhirnya ia tidak mampu lagi menahannya. Tapi dalam proses berpikir itu Bambang belum mampu melihat masalah dari berbagai dimensi, dia hanya melihat masalahnya dari sudut pandangnya sendiri.  Dia belum mampu berpikir luas, belum mampu melihat keadaan luar yang jelas lebih menyedihkan daripada hidupnya.  Yang dia pikirkan hanyalah bagaimana mengakhiri penderitaannya dengan segera, dan bunuh dirilah yang menjadi keputusannya, tanpa memikirkan masa depannya.
Syamsu Yusuf dalam bukunya yang berjudul Mental Hygiene menjelaskan indikator dan penyebab masalah kesehatan mental, yaitu :
·         Perasaan sedih dan tak berdaya
·          Sering marah-marah atau bereaksi yang berlebihan terhadap sesuatu
·          Perasaan tak berharga
·          Perasaan takut, cemas atau khawatir yang berlebihan
·         Kurang konsentrasi
·         Merasa bahwa kehidupan ini sangat berat
·         Perasaan pesimis menghadapi masa depan
Gangguan Perilaku,yaitu :
·         Mengkonsumsi alkohol atau obat-obat terlarang
·         Suka mengganggu hak-hak orang lain atau melanggar hukum
·         Melakukan perbuatan yang dapat mengancam kehidupannya sendiri
·         Secara kontiniu melakukan diet atau memiliki obsesi untuk memiliki tubuh yang langsing
·         Menghindar dari persahabatan atau senang hidup sendiri
Penyebab Masalah Kesehatan Mental Remaja:
1.      Faktor biologis, seperti: genetika, ketidakseimbangan kimiawi dalam tubuhmenderita penyakit kronis, dan kerusakan system syaraf pusat.
2.      Faktor psikologis, misalnya: frustasi, konflik, terlalu pesimis, kurang mendapat atau bahkan tidak mendapat kasih sayang, dan kurang mendapat pengakuan dari kelompok.
3.       Faktor lingkungan, seperti: merebaknya film-film porno, film bertema kejahatan dan pornoaksi, mudahnya mendapatkan minuman keras, obat-obatan terlarang, mudahnya mendapatkan alat kontrasepsi yang tidak terkontrol, majalah porno, kehidupan hedonistik, materialistik, merebaknya premanisme, kurang kontrol sosial, salah berteman, dan sebagainya.
Depresi pada remaja harus segera ditangani karena kalau berkepanjangan, dapat mengakibatkan bunuh diri yang berujung pada kematian seperti pada kasus ini.  Makin lama seseorang mengalami depresi, makin lemah daya tahan mentalnya, makin habis energynya, makin habis semangatnya, makin terdistorsi pola pikirnya sehingga dia tidak bisa melihat alternative solusi, tidak bisa melihat ke depan, tidak menemukan harapan, tidak bisa berpikir positif. Ini menyebabkan remaja melihat bahwa bunuh diri menjadi solusi satu-satunya.
Sebenarnya masalah depresi akan lebih baik ditangani dengan psikoterapi karena dengan psikoterapi, remaja dibantu untuk menemukan akar permasalahannya dan melihat potret diri secara lebih obyektif. Psikoterapi ditujukan untuk membangun pola pikir yang obyektif dan positif, rasional dan membangun strategi / mekanisme adaptasi yang sehat dalam menghadapi masalah. Perlu diingat bahwa keterbukaan remaja untuk mengemukakan masalah yang sedang dihadapinya akan membantu proses penyembuhan dirinya. Ada beberapa terapi yang dapat dilakukan untuk mengatasi depresi pada remaja, yaitu:
·         membantu remaja yang sedang bermasalah untuk memperbaiki distorsi kognitif dalam memandang diri dan masa depan sehingga akan memunculkan suatu kekuatan dari dalam dirinya bahwa dirinya mampu untuk mengatasi masalah tersebut
·          membantu remaja memahami, mengidentifikasi perasaan, meningkatkan rasa percaya diri, meningkatkan kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain dan mengatasi konflik yang sedang dialami.
Banyak faktor yang menentukan keberhasilan terapi seperti usia remaja saat awal mengalami depresi, beratnya depresi, motivasi, kualitas terapi, dukungan orangtua, kondisi keluarga (apakah orangtua juga menderita depresi atau tidak, ada atau tidak konflik dengan keluarga, kehidupan yang penuh stres atau tidak, dsb). Selain itu, juga diperlukan terapi keluarga untuk mendukung kesembuhan remaja penderita depresi. Dalam terapi keluarga, keluarga remaja yang depresi ikut mendiskusikan bagaimana cara yang terbaik untuk mengurangi sikap saling menyalahkan, orangtua remaja juga diberi tahu seluk beluk kondisi anaknya yang depresi sehingga diharapkan orangtua dan anggota keluarganya akan membantu dalam mengidentifikasi gejala-gejala depresi anaknya dan menciptakan hubungan yang lebih sehat. Selain keluarga, remaja juga pasti membutuhkan sahabat dan di sinilah peran kita sebagai sahabat mereka, jadi jangan pernah meninggalkan mereka dalam keadaan apapun, jadilah pendengar yang baik bagi mereka, jangan pernah menggurui mereka.
2.      Bunuh Diri
Banyak motif bunuh diri yang di kemukakan (Mintz,1968), yaitu : agresi yang dibalikkan kepada diri sendiri, pembalasan yang dilakukan dengan cara menimbulkan perasaan bersalah pada orang lain, upaya untuk memaksakan cinta dari orang lain, upaya untuk melakukan perubahan atas kesalahan yang dilihat pada masa lalu, upaya untuk menyingkirkan perasaan yang tidak dapat diterima, seperti ketertarikan seksual kepada lawan jenis, keinginan untuk rengkarnasi, keinginan untuk bertemu dengan orang yang dicintai yang telah meninggal, dan keinginan atau kebutuhan untuk melarikan diri dari stres, kehancuran, rasa sakit, atau kekosongan emosional.
Banyak profesional kesehatan mental kontenporer menganggap bunuh diri secara umum sebagai upaya individu untuk menyelesaikan masalah, yang dilakukan dalam keadaan stres berat dan ditandai pertimbangan atas alternatif yang sangat terbatas dimana akhirnya penihilan muncul sebagai solusi terbaik (Linehan & Shearin,1988).
Suatu teori tentang bunuh diri yang didasari penelitian dalam bidang psikologi sosial dan kepribadian menyatakan bahwa beberapa tindakan bunuh diri dilakukan karena keainginan kuat untuk lari dari kesadaran yang menyakitkan atas kegagalan dan berkurangnya keberhasilan yang diatribusikan orang yang bersangkutan pada dirinya (Baumeister,1990 dalam Psikologi Abnormal,2010). Kesadaran ini mungkin diasumsikan menimbulkan penderitaan emosional yang berat seperti depresi.
Teori psikoanalisis freud- pada dasarnya freud menganggap bunuh diri sebagai pembunuhan, sebuah perluasan atas teorinya mengenai depresi, ketika seseorang kehilangan orang yang dicintai sekaligus dibencinya, dan meleburkan ornag tersebut dengan dirinya, agresi diarahkan kedalam. Jika perasaan ini cukup kuat, oarang yang bersangkutan akan bunh diri.
Teori sosiologis durkheim- Emile Durkheim (1897,1951), seseorang sosiologis terkenal, menganalisis berbagai laporan bunuh diri dari berbagai negara dan periode sejarah dan menyimpulkan bahwa penihilan diri sendiri dapat di pahami secara sosiologis. Ia membedakan tiga jenis bunih diri, yaitu.
1.      Bunuh diri egostik
Dilakukan oleh orang-orang yang memiliki sedikit ketertarikan dengan keluarga, masyarakat, atau komunitas. Orang-orang ini merasa terasingkan dari orang lain, tidak memiliki dukungan sosial yang penting agar mereka dapat tetap berfungsi secara adaptif sebagai mahluk sosial.
2.      Bunuh diri altrualistik
Dianggap sebagai respon terhadap berbagai tuntutan sosial. Beberapa orang yang bunuh diri merasa sangat menjadi bagian suatu kelompok dan pengorbanan diri untuk melakukan hal yang dianggapnya akan menjadi kebaikan bagi masyarakatnya. Beberapa bunuh diri altrualistik, seperti hara-kiri jepang, dianggap sebagai satu-satunya pilihan terhormat dalam kondisi tertentu.
3.      Bunuh diri anomik
Bunuh diri ini dapat dipacu oelh perubahan mendadak dalam hubungan seseoran dengan masyarakat. Anomi dapat menyebabkan ketidakseimbangan dalam masyarakat, membuat bunuh diri semangkin mungkin dilakukan.
Treamen klien yang berniat bunuh diri beragam, tergantung kepada konteks sebagai mana niat dan bahaya yang dimunculkan. Mayoritas pendekatan intervensi menyatukan dukungan keterlibatan terapeutik yang terarah.
















DAFTAR PUSTAKA
Richard P.Halgin & Whitbourne. 2011. Psikologi Abnormal. Jakarta: Salemba Humanika.
Gerald C.Davison dkk. 2010. Psikologi Abnormal. Jakarta : Rajawali pers
Bimo Walgito. 1989. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta : Penerbir Andi
http://piipiiodd.wordpress.com/2010/04/06/analisis-kasus-depresi-remaja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar